|
Ilustrasi (sumber: medianda-news.blogspot.co.id) |
Dia, wanita itu, aku mengenalnya saat Ayah membawaku
kesana untuk sekedar menghilangkan amarahnya pada Ibu. Wanita cantik, berbadan
mungil dan menurutku, ia sungguh berhati besar. Saat itu, yang kutahu, dia Mamaku
juga. Lebih tepatnya adalah ia istri pertama Ayah. Aku memanggilnya Mama. Meski
telah disakiti, wanita itu masih mau menerima dan memelukku. Dia, wanita itu. Aku menyayanginya
juga. Tak pernah suaranya menggelegar meski aku berbuat salah. Halus tutur katanya
dan ia pandai memasak.
"Sana
bantu mama masak di dapur!" Perintah Ayah membuyarkan lamunanku. Tanpa
melawan aku segera menuju dapur membantu Mama. Mama memiliki usaha catering. Setiap pagi ia memasak makanan
pesanan sebuah kantor tertentu untuk makanan para karyawan. Terkadang ia juga
menerima pesanan dari berbagai acara pernikahan, aqiqah, dan lain-lain. Selain
itu, ia juga membuat kue-kue tradisional yang ia titipkan ke beberapa warung
tetangga. Itu ia lakukan untuk menambah uang belanja dan memenuhi kebutuhannya bersama
kedelapan orang anaknya.
Kemana Ayah? apa sudah meninggal? jawabannya adalah
Tidak. Ia masih ada. Hanya saja, Ayah terlalu pelit dan tidak punya rasa
tanggung jawab memberi Mama atau Ibuku uang belanja. Jika Mama mencari uang
dengan keahliannya memasak, maka Ibuku mencari uang dengan jasa dan kekuatannya
menjadi pembantu atau baby sitter. Sementara
Ayah, dia lebih suka menghabiskan uang penghasilannya di bar-bar dengan minum-minuman
keras bersama wanita penghibur atau pergi berjudi. Saat itu, aku masih terlalu
kecil untuk memahami semua urusan ini. Belakangan aku tau, orang-orang
mengatakan keluarga ini sungguh berantakan.
Hari itu, hari biasa. Semua berjalan dengan baik-baik
saja. Hingga Tuhan melakukan tugas-Nya atas cerita kehidupan Mama. Ia mendapat
sebuah musibah kebakaran. Hingga luluh lantak semua harta benda hangus terlalap
api. Kebakaran yang cukup besar. Tak ada yang tersisa, kecuali luka dan pedih. Mama
hanya bisa menangis, tak mampu berkata-kata. Pasrah akan kehendak yang Kuasa.
Meski begitu, ia bersyukur sebab masih diberi keselamatan. Anak-anaknya –yang
juga merupakan kakak-kakakku- juga selamat dalam musibah besar itu.
"Rasakan
akibat keserakahan kalian!! Kan aku sudah bilang padamu. Rumah ini dijual saja,
lalu hasilnya kita bagi dua. Dasar wanita bodoh. Lihat sekarang! semuanya
hangus! makan itu arang!!" Cetus ayah berkacak pinggang di antara
puing-puing rumah yang sudah menghitam terbakar dan berserakan.
"Ini
adalah rumah peninggalan Ibuku, tapi kau tak mau membagi sepeserpun padaku!!
Wanita busuk!!" Celotehnya sambil menunjuk-nunjuk wajah mama.
"Maksudmu
apa, Hah!? Ibu telah memberi rumah ini untuk cucu-cucunya, yang sudah kau
telantarkan dari kecil. "Kemana
kau selama aku berpayah merawat ibu saat sakit?" Rintih mama, yang bahkan
belum sempat makan sejak musibah itu terjadi.
"Tidak
ada yang memintamu berkhianat dan meninggalkan kami. Kenapa kau begitu kejam
padaku dan anak-anak."suaranya lemah bercampur suara kletek api yang masih
terdengar meski api telah dipadamkan.
"Cih,
omong kosong. Kau memang tukang hasud!! Makan itu arang hitam. Aku takkan
pernah ikhlas sampai aku dapat bagian! Ingat itu!!" Gerutunya lantas
menendang kaleng gosong yang teronggok di situ hingga terpental jauh.
Mama hanya bisa menangis terisak. Hatinya terasa pedih. Ia
telah dikhianati, ditinggalkan, dicaci maki, bahkan diinjak lumat harga
dirinya. Hatinya yang besar itu, sejenak mengkerut sebab disiram oleh kemarahan
dan rasa benci. Sejenak ia membayangkan saat ia berbicara dengan Nenek, ibu
dari Ayah dua bulan yang lalu.
"Nak,
walau apapun yang terjadi jangan tinggalkan rumah ini. Aku mengikhlaskan nya
untukmu dan cucu-cucuku. Maafkan aku karena engkau sudah menderita sebanyak
ini. Aku tak menyangka Parman akan memperlakukanmu dengan buruk." Pesan
mendiang nenek suatu hari.
"Sering
aku memikirkan hari di mana aku meminta ayah mu agar menjodohkanmu dengan
Parman. Aku sungguh menyesal, Nak. Aku sama sekali tidak mengira dia akan
mengkhianatimu bahkan menyakitimu."Nenek menangis tergugu. Ia telah berbulan-bulan
terbaring tak berdaya karena sakit. Mama lah yang justru merawat dan menjaga
beliau dengan sabar, meski ia hanya seorang menantu.
Lamunan Mama segera terhenti kala
hujan mulai membasahai bumi. Seolah ia memahami hati seseorang yang tengah
terluka. Seolah ingin hujan memberikan pelukan dan kekuatan kala itu. "Ibu,
maafkan aku… aku tidak dapat menjaga peninggalan dan amanahmu dengan baik"
isak Mama seraya bersujud. Tangisnya begitu memilukan. Sesungguhnya, bukan
hanya rumah terbakar itu yang ia tangiskan karena musibah ini semua di luar
kemauannya. Namun tingkah dan kata-kata Parman, suaminyalah yang begitu
menyakiti hatinya. Ia benar-benar terluka. Pintu maaf dan kesempatan itu
tiba-tiba lenyap tanpa bekas.
"Seumur
hidupku, takkan pernah kau ku maafkan Parman. Takkan pernah!" Isaknya
pilu, Seraya bangun menatap nanar. Airmatanya kembali mengalir deras. Mama
memandangi puing-puing rumah yang sudah tak berbentuk itu. Begitu banyak
kenangan yang tersimpan di sana. Meski kenangan itu banyak terdapat goresan
pedang yang menyayat hatinya.
***
Rumah mungil nan asri itu berdiri di atas tanah yang
hangus 5 tahun lalu. Berpagar kayu yang sederhana dan rapi. Sekelilingnya
banyak pot-pot bunga yang nampak mekar berwarna-warni. Sungguh ini suasana
vintage yang begitu indah. Warna cat pada dindingnya dominan putih. Sementara
kusen dan tiang-tiang diberi cat warna hijau muda. Selain itu ada aksen strip
berwarna coklat, yang memberi kesan ramah.
Kuketuk pelan pintu bercat putih itu. Seperti biasa di
hari Idul Fitri begini, aku selalu menyempatkan diri mengunjunginya. Mamaku,
Istri pertama ayah.
"Oh,
Cindy... masuk nak, masuk sini masuk..." sapanya ramah seraya menyambutku
bahagia.
Masih cantik, pikirku. Meski usia dan
gurat kepedihan terlihat jelas di sisi mata dan beberapa bagian wajahnya. Namun
Mama tetap anggun dan tentu saja, ramah.
"Kok
sepi, Ma?" tanyaku heran.
"Iya
nih, Cuma Mama sendirian. Kakak-kakakmu kan sudah berkeluarga semua, jadi Mama
sendirian di sini. Kadang Mama yang ke rumah mereka untuk bermalam atau menjaga
cucu." Ucapnya sambil tertawa.
"Kamu
kesini sendirian lagi? kapan bawa calon?" selorohnya menggodaku.
"Ah,
Mama. Belum waktunya." Ucapku tersenyum malu. Ia tertawa geli melihat
tingkahku.
"Eh,
kamu makan ya, mama buat lontong sayur loh..." ucapnya penuh keibuan.
"Makanya
aku sengaja ke sini pagi, Ma. Nyari Lontong." sahutku girang.
Obrolan pun mengalir begitu saja di antara kami. Jika dilihat
dari jauh bagai seorang anak kandung yang bercengkerama dengan ibunya. Memang
benar, hanya saja kami tidak sedarah. Menjelang akan pulang, aku pun bertanya
padanya tentang ayah. "Jadi, Mama beneran gak mau maafin ayah?"
Tanyaku hati-hati.
"Tidak
akan. Maafkan mama Cindy. Rasa sakit mama terlalu dalam, hati mama tak cukup
besar untuk menanggungnya. Cukuplah mama telah mau menerima kalian
anak-anaknya. Tapi untuk Ayahmu dan Ibumu, Mama tidak bisa membuka hati ini."
jelasnya pilu, sambil menatap nanar pada dinding rumah itu. "Biarlah Allah
yang menilai, Biarlah Dia yang menentukan yang terbaik. Mama sungguh tidak bisa
menghadirkan pintu maaf itu. Maafkan Mama, Nak..." lanjutnya.
Aku hanya bisa mengangguk diam. Menatapnya sebentar, lalu
menekuri lantai yang berbalut karpet hijau sendu. Lama kami terdiam tenggelam
oleh pikiran masing-masing.
"Kemarin
ayahmu kemari. Mama gak buka pintu." ucapnya memecah keheningan.
"Tau
gak, kemaren Mama pas banget baru pulang dari rumah tante bawa ikan. Gara-gara
dia datang, ikan itu Mama taruh trus langsung keluar dari pintu belakang.
Ikannya sampe busuk, lupa dimasukin dalam kulkas," paparnya sambil
tertawa. Kecanggungan yang tadi tercipta seakan lenyap begitu saja.
Akupun pulang setelah bercakap-cakap
dengannya. Tak lupa membawa satu rantang lontong sayur buatan Mama. Dalam
perjalanan pulang aku menerawang, sesekali memandangi langit syahdu hari itu. Awan-awan
beriring mengambang. Sesaat berbentuk kelinci, ada juga berbentuk gajah,
selanjutnya berbentuk bulat-bulat kecil seperti sekumpulan ikan yang berenang.
MAAF, kata yang begitu sederhana. Namun butuh hati yang
kuat dan keras untuk dapat menyematkannya di sana. Memaafkan, adalah kata-kata
yang mudah terucapkan. Namun, ketika hati telah tertusuk dan berdarah-darah.
Ketika airmata deras mengalir mengucurkan duka. Maka, ketika itu pula lidah
menjadi kelu dan terbata saat mengucapkannya. Mungkin ada orang yang memang
layak dimaafkan dan diberi kesempatan. Mungkin ada juga orang yang layak diberi
kesempatan tanpa kata maaf atau sebaliknya hanya mendapatkan kata maaf tanpa
sebuah kesempatan kedua. Dalam pandanganku, Ayah adalah jenis yang tak layak
mendapatkan maaf dan kesempatan dari Mama, meski ia sudah berlutut meminta.
Dia, wanita itu. Wanita lugu yang tak pernah mengomeliku.
Aku mengenalnya saat Ayah berkelahi dengan Ibu. Wanita yang begitu ramah. Di
balik semua kisah hidupnya, mungkin Tuhan memiliki rencana dan skenario tersendiri
yang sesiapapun tidak tahu akan akhirnya bahkan malaikat sekalipun. Wanita itu,
aku menghormatinya melebihi dari siapapun.
Se Sang
08 April 2017
Dipublikasikan dalam Rubrik Lipstik di Koran Berau Post
edisi Minggu 16 April 2017