Wanita Berpipi Kemerahan

sumber: piqsel


Seperti hari-hari yang telah berlalu, aku masih di sini. Menunggu ia datang dan bersandar sambil berkeluh kesah. Air Matanya sesekali membasahi, memberi sebuah arti dan sebuah tanya. Akankah ia datang lagi besok?
Dia, wanita yang berpipi kemerahan. Rambutnya ikal berwarna emas. Matanya begitu indah, bukan hitam bukan pula cokelat. Aku pikir mungkin itu warna darah? Ya, cairan yang selalu lewat di bagian pembuluh berserabut, kau pasti tahu. Setiap sore atau malam, ketika kami berdekatan, ia akan menyandarkan kepalanya lagi. Bercerita tentang apa yang ia lakukan tadi pagi atau sekadar berbagi perasaan.“Bang, hari ini aku dikatain gendut dan nggak bisa merawat diri setelah melahirkan anak. Padahal mereka nggak tahu bagaimana repotnya mengurus bayi kembar sendirian. Apa aku harus diet? Tapi nanti ASI-ku malah nggak banyak. Aku beneran gendut dan jelek ya, Bang?” Kata-katanya mengalir pelan, sambil melirik ke arah kamar khawatir bayi-bayinya terbangun.“Ah, nggak usah dipikirin yang begitu. Abang kan nggak permasalahkan itu. Mau kamu gendut, jelek, kan istri Abang. Bukan istri mereka! Sudah sana jangan nempel-nempel gitu, berat!” Wanita itu segera menjauh. Wajahnya menggambarkan banyak hal, tetapi tak mampu ia utarakan lebih lanjut. Bayi-bayinya mulai menangis karena mendengar suara keras sang ayah dari luar. Setelah itu ia tak datang lagi bersandar.Dahulu, sebelum kedua anak bayi itu hadir, wanita itu sering sekali mendekat. Aku suka mendengar ia bercerita, tertawa dan sesekali mengecupku hangat. Wajahnya yang berseri itu benar-benar cantik dan mempesona. Namun, kini hal itu jarang sekali terjadi. Aku pun sudah tidak bisa menghitung berapa waktu yang sudah kulewatkan tanpa melihat wajahnya. Tanpa mendengar suaranya. “Bang, aku hari ini capek banget rasanya. Huh, kenapa sih kerjaan rumah nggak pernah habis?” keluhnya hari ini.“Ah, kamu di rumah cuma makan, tidur dan urus anak-anak! Capek apaan? Itu rumah berantakan dan cucian piring numpuk, kok!” sahut suami terdengar kesal.“Aduh, Abang gimana sih. Anak kita lagi kan aktif-aktifnya. Ini juga baru aku beresin dan cucian piring kan baru aja numpuk setelah kita makan barusan.” Terdengar suaranya memelas.“Halah! Capek mana sama aku yang seharian kerja banting tulang di luar cari uang. Kalo emang capek kenapa badanmu tambah lebar begitu! Capek makan kali! Udah, aku mau jalan dulu! Ada urusan!”
***Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hari ini suasana rumah lebih ramai dari biasanya. Aku tak bisa melihat keadaan di luar karena tertutup baju berwarna hitam. Aku tebak suami sang istri sedang menangis tersedu karena tubuhku seolah bergetar sedari tadi. Aku mulai bertanya-tanya, mana wanita itu, ya? Suaranya tak lagi terdengar. Jujur, aku suka mendengar suaranya.“Kasian, ya. Masih muda padahal.”“Iya, anak-anaknya lucu, loh. Duh, tragis banget nasibnya.”“Aku rasa suaminya tidak memperhatikan dia makanya sampe nekad begitu.”“Aku juga bakal nggak tahan, sih. Tapi, dari pada mati sambil bawa anak, mending aku pulang ke rumah orang tua.”Suara-suara itu bagaikan puluhan duri yang menusuk dari berbagai arah. Aku tak tahu harus berbuat apa, menangis pun tak bisa. Padahal, wanita itu dulu sering berbagi tangis dan tawanya denganku. Ah, andai aku manusia. Andai aku bukanlah bahu, mungkin aku bisa memeluknya bagai manusia yang ada di sekitar sini. Aku, yang hanyalah bahu pun tahu, bahwa wanita itu hanya butuh pelukan dan butuh didengarkan. Bukan dihakimi dan ditinggalkan.
Selesai_
x
x

0 komentar