Sepenggal Hati yang Tersisa



Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay Bumi ini memiliki luas 510.1 juta km², tetapi mengapa pertemuan kami harus di tempat ini? Seseorang yang ingin kuhindari bertahun-tahun dengan pergi ke berbagai wilayah, malah tanpa terduga bertemu di tengah ratusan peserta seminar. Wah, takdir memang luar biasa mengejutkan, kadang-kadang.
“Apa kabar, Ren?”
Aku terkesiap sejenak menangkap visual di hadapanku kini. Sinaps otak seolah berjalan perlahan. Mungkin ia mencoba berdistraksi dengan keadaan yang ada. Namun, aku tak bisa mengelak sekarang, tidak di situasi dimana aku menjadi seorang pembicara dan ia adalah pemandu acara seminar buku hari ini.
“Ya? Em-Aku- Aku baik-baik saja. Super baik-baik saja,” ujarku berusaha tersenyum.
“Nggak nyangka sekarang kamu jadi orang hebat. Terkenal di mana-mana dan mampu menjadi inspirasi. Penulis buku dan konsultan pernikahan? Itu adalah profesi luar biasa.”
“Tentu saja. Luka yang aku dapat darimu mampu membuatku tumbuh dan berkembang lebih baik! Apa kau iri?” Kata-kata itu hanya bisa tersimpan mungkin jika suasana dan tempatnya berbeda aku mampu mengatakannya.
“Alhamdulillah, semua butuh perjuangan,” ucapku datar sambil mengalihkan pandangan pada bahan materi.
“Lama nggak ketemu.” Ia bertanya lagi seolah sedang bertanya pada teman lama dan itu membuatku jengah.
“Ngapain juga ketemu kamu?” Lagi-lagi kata itu hanya terlontar dari dalam hati.
“Yah, begitulah. Kita punya kehidupan masing-masing, kan.” Aku berusaha tersenyum setulus mungkin.
“Mungkin setelah ini kita bisa ngobrol-ngobrol sambil ngopi? Sekadar mengenang masa lalu.”
“Oh, maaf sekali. Jadwalku agak padat, mungkin lain waktu.”
“Apakah kau sudah menikah?”
Seolah pertanyaan itulah yang sejak awal ingin ia tanyakan. Jelas saja ia akan penasaran apa yang terjadi padaku kini. Setelah apa yang ia lakukan pada pernikahan kami dahulu, dan bagaimana kerasnya aku mempertahankan ikatan itu, dan dia tetap pergi. Memilih menyudahi semua setelah kami berhasil melalui banyak ujian. Ia justru menyerah ketika bahtera rumah tangga mulai mengarungi lautan yang tenang.
Aku menatapnya tajam. Senyum di bibir seolah tak ingin singgah untuk membuat nyaman lawan bicara. “Yang jelas, kini aku lebih bahagia dan kau tak perlu penasaran.” Ucapku masih dalam hati. Alih-alih menjawabnya, aku memilih untuk segera berdiri sambil memberi kode untuk menyudahi percakapan.
Setengah mati aku berusaha memaksimalkan diri untuk menyampaikan materi dan menjawab semua pertanyaan. Aku tahu, Dimas terus mengarahkan pandangannya kepadaku selama acara berlangsung. Sebuah tindakan menyebalkan dan sukses membuatku sedikit tidak konsentrasi. Harusnya aku ikuti saja intuisi untuk menolak undangan dari kota ini. Benar saja, kejanggalan yang aku rasakan beberapa hari sebelum keberangkatan akhirnya terjawab.
“Baiklah, kita beri tepuk tangan meriah kepada Dr. Rena Santi, M.Psi atas materi yang luar biasa hari ini!”
Tepukan meriah seisi aula membahana sedikit menenangkan. Setelah sesi foto dan tanda tangan aku dan tim segera bersiap untuk pulang. Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku dari belakang. Dan, aku refleks menepisnya karena kaget. Beberapa orang memandang kami dan merasakan atmosfer di situ agak berbeda.
“Bisa bicara sebentar?” tanya Dimas memohon, “ada hal penting yang aku tanyakan. Pribadi.”
Aku menghela napas frustrasi. Setelah memberi pengertian pada tim, aku segera mengikuti Dimas.
“Ini adalah kantorku,” ucapnya sambil membereskan beberapa barang yang terlihat berserak di sebarang tempat.
“Cepat katakan apa maumu,” ujarku segera setelah duduk dengan melipat tangan di dada.
Ia menatapku sendu dan tersenyum getir. “Aku mencarimu ke mana-mana, Ren. Aku ingin minta maaf dan ingin memperbaiki semua. Sepertinya Tuhan sedang memberiku kesempatan. Dan --”
“Aku tidak mau memberimu kesempatan.”
Ia tertegun mendengar perkataanku barusan dan berkata, “Tapi, Ren. Aku Belum--”
“Apa? Belum puas membuatku sakit? Selama 7 tahun ini aku berusaha menjalani hidup dan membangun pondasi hati yang sukses kau hancurkan berkeping-keping. Selama kita bersama dahulu, selalu aku yang memberi. Semuanya aku korbankan. Cinta, harta bahkan keluarga! Tapi, apa yang aku dapat sebagai balasan? Dan, sekarang kau ingin kesempatan? Untuk menghancurkannya lagi?”
Napasku menderu. Tidak terasa genangan air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya luruh juga. Ruangan itu seolah semakin sempit dan membuat dadaku sesak. Bayangan masa lalu itu kembali datang adegan demi adegan.
“Maaf, Ren. Aku benar-benar minta maaf. Saat itu nafsu dan setan menguasai aku. Kini aku sudah bertobat.” Aku mengelak saat Dimas maju mengulurkan tangan ingin menyentuh pundakku. Hal yang sering ia lakukan dahulu jika ingin merayu atau membuatku tak marah lagi.
Memang kini aku belum menikah dan membuka hati untuk cinta yang lain. Trauma dikhianati di masa lalu masih membuatku jera untuk membangun rumah tangga baru. Seketika aku sedikit menyesal mengapa belum menikah saat ini. Mungkin semua akan menjadi lebih mudah jika aku sudah tidak berstatus janda. Setelah menenangkan diri aku lalu berdiri dan menatap Dimas tajam.
“Aku anggap pembicaraan kita selesai, Dimas. Aku sudah memaafkanmu dan Mirna. Aku juga berharap kalian bisa hidup bahagia setelah aku pergi. Jujur, dendam dan sakit hatiku sudah lama hilang hingga kita bertemu hari ini. Ingat, Dimas! Kau adalah sepenggal kisah yang tidak ingin aku simpan. Kau juga adalah sepenggal hati yang tidak lagi ingin aku miliki dan sudah aku tinggalkan di tempat kalian mengkhianati kepercayaanku. Maka, sadar dirilah dan jangan mengharapkan sebuah kesempatan.”
Aku pergi dari situ tanpa menoleh ke belakang. Tak peduli lelaki berlesung pipi itu memanggil berkali-kali sehingga beberapa orang mengarahkan pandangan pada kami. Saat ini aku hanya ingin pulang. Entah berapa lama lagi aku harus merawat luka yang kini kembali menganga pada sepenggal hati yang masih tersisa.
.
.
.
Selesai

0 komentar